Cari Blog Ini

Kamis, 22 Maret 2012

dari resensi - Klik Galamedia


Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi

Telaah atas Migrasi Ideologi Pramoedya

SEMULA Pramoedya murni menerjunkan dirinya sebagai seorang sastrawan. Namun, belakangan ia berganti haluan dan menjerumuskan dirinya dalam-dalam ke dunia politik yang menelan "bayaran mahal" dalam hidupnya. Sebuah pertanyaan yang dimuat pada bagian akhir buku tersebut berbunyi, "Bagaimanakah dan sejak kapan serta lantaran apakah sastrawan terkemuka Pramoedya Ananta Toer menjadi 'kiri', menggabungkan kerja-kerja sastra dengan politik?"

Savitri Scherer, salah seorang kontributor Kompas di luar negeri, menjawab pertanyaan itu dengan serangkaian penelitian yang ia rangkum dalam sebuah disertasi program Ph.D. yang ia jalani di Australian National University tahun 1981. Judul disertasi tersebut yaitu From Culture to Politic: The Writings of Pramoedya A. Toer, 1960-1965. Disertasi tersebut kemudian diseleksi kembali dan dicetak dalam bentuk buku yang berjudul Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi.

Buku Scherer tersebut tidak ubahnya seperti sebuah biografi singkat atas pengarang kelas wahid yang pernah dimiliki oleh negeri ini. Sosok pengarang yang statusnya masih terombang-ambing sebagai salah seorang anggota keluarga ibu pertiwi. Di satu sisi, dalam pandangan penguasa, ia dianggap sebagai "residivis" laten yang gemar menyuarakan kritiknya yang tajam tetapi teramat halus melalui karya sastranya yang gemilang. Di sisi lain, karya-karya Pramoedya yang notabene melawan mainstream dipuja setinggi langit, bahkan diganjar serangkaian penghargaan.

Scherer membuka bagian awal tulisannya tersebut dengan sebuah pernyataan yang memastikan bahwa Pramoedya adalah tokoh nonpolitik ketika ia memulai karirnya (hlm. 1). Selanjutnya, Scherer mendapati bahwa tema-tema yang ditampilkan dalam karyanya berubah meskipun masih mempertahankan kekhasannya dahulu. Untuk itu, Scherer melakukan serangkaian penelitian secara kronologis.

Sebagai tahapan awal, Scherer mengungkapkan secara ringkas sejarah kehidupan Pramoedya pada masa lalu (hlm 20). Ia terlahir dari keluarga priyayi dan pejabat terpandang di Blora. Sayang, faktor ekonomi yang suram menimbulkan dampak buruk pada keluarganya. Pramoedya harus menjadi tulang punggung bagi keluarganya, sementara kedua orangtuanya mengalami kondisi tragis karena hal itu. Faktor ekonomi pula yang mengandaskan perkawinan pertama sang pengarang dengan istri pertamanya, Arfah Ilyas. Selanjutnya, Pramoedya sempat malang-melintang di dunia militer, perkuliahan, dan dunia kurungan. Pengalamannya tersebut dijadikan Pramoedya sebagai bekal kekayaan kisah-kisah yang ia tulis kelak.

Pascapernikahannya yang kedua dengan Maimunah Thamrin, Pramoedya sempat melawat ke negeri Cina. Di negeri itu ia sangat mengagumi sistem yang dijalankan pemerintah setempat yang menjamin kehidupan para penulis, meskipun ia lupa bahwa penulis di negeri tirai bambu dikebiri kebebasan berekspresi mereka. Scherer mendapati bahwa setelah itu, ditambah dengan perseteruannya dengan kelompok "Gelangggang" (tempatnya bernaung sebagai asuhan H.B. Jassin dulu), Pramoedya disunting oleh Lekra.

Upaya ganti haluan itulah yang harus dibayar mahal oleh seorang Pramoedya. Berkali-kali ia harus keluar masuk kawasan hotel prodeo, pengekangan, dan penghancuran buah karyanya yang dianggap berbahaya. Scherer juga menyampaikan bahwa apa yang ditulis dalam buah karya Pramoedya merupakan refleksi subjektivitas dan kritisisme sang pengarang. Beberapa buah karya tidak luput dari pembedahan yang dilakukan oleh Scherer, antara lain, cerpen "Sunyi Senyap Disiang Hidup", "Gadis Pantai", dan "Bumi Manusia". Dari beberapa karyanya yang menjadi objek pembedahan Scherer, nyata bahwa buah karya tersebut menyuarakan dukungannya pada golongan kiri, kekecewaan pada sang penguasa, protes atas ketidakdilan dan konflik kelas, serta kebenciannya pada feodalisme.

Buku "Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi" tersebut merupakan sarana pemahaman bagi pembaca untuk menelusuri alasan dan akibat yang dijalani oleh Pramoedya atas pilihan hidupnya. Meskipun diberangus kebebasan maupun buah karyanya berkali-kali oleh pihak penguasa, Pramoedya tidak menjadikan hal itu sebagai pisau pemotong semangat hidup dan kreativitasnya. Sebaliknya, satu hal yang perlu dicontoh, Pramoedya menjadikan masa sulitnya itu sebagai bank modal dan bank data yang kelak dapat ia tuangkan dalam buah karyanya yang kaya.

Apa pun sepak terjang yang dilakoni oleh seorang sastrawan sekaliber Pramoedya Ananta Toer, ada beberapa poin, yang dicatat Scherer, yang patut kita terapkan dari sang pengarang --terutama bagi para penulis-- dalam berkarya. Poin-poin tersebut adalah sebagai berikut: (1) karya sastra yang baik adalah yang pada intinya universal atau dapat diapresiasi oleh pembaca dari seluruh dunia (hlm. 57); (2) seorang penulis harus mengintegrasikan nuraninya kepada pembaca (hlm. 57); (3) Pramoedya melihat bahwa karya sastra kini lebih berfungsi sebagai pengubah persepsi masyarakat tentang keadaan mereka, serta membantu mereka menemukan solusi melawan ketidakadilan (hlm. 61); (4) novel adalah bentuk ideal untuk mengungkapkan aspek-aspek revolusioner mengenai kontradiksi dalam masyarakat dengan catatan si penulis harus mampu mengingat dan mengintegrasikan situasi, posisi, dan kondisi pada masyarakat yang lebih luas (hlm. 133); dan (5) penulis adalah bagian dari subjeknya, tetapi memiliki kebebasan untuk mengarahkan dan mengendalikan tema serta alur cerita (hlm. 133).
(Resti Nurfaidah, Staf Teknis Balai Bahasa Bandung)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar